Catatan Ramadhan (5): Partai Islam vs Partai Iman

Citra Partai Islam akhir-akhir ini memburuk akibat prilaku sejumlah politisi dan makelar politik yang berasal dari partai yang menyebut diri sebagai "partai Islam". Kita dibuat kaget, bagaimana mungkin seorang ustadz, dengan pengetahuan agama yang cukup, melakukan korupsi dan 'memakai' jasa perempuan? Apakah label Islam di partai -partai itu tidak bisa menjamin integritas mereka?
Saya curiga, justru kata 'Islam'  inilah masalahnya.

Dalam perspektif teologi Sunni, ada tiga derajat keagamaan seorang Muslim: Islam, Iman, Ihsan.
Islam, meski menjadi nama agama, adalah derajat yang termudah dan terendah. Mungkin karena mudahnya inilah nama 'islam' dipilih, agar semua orang yang telah secara lisan bersyahadat mengakui keesaan Allah dan kerasulan Muhammad dapat disebut 'Muslim'. Dalam konteks ini, tak perlu dibedakan antara Muslim 'beneran' dengan Muslim 'KTP'. Semua orang yang mengaku Muslim, ya Muslim -- apa pun perilakunya.

Islam itu juga lebih bersifat simbolik. Kalau kita bicara soal rukun Islam yang lima, maka semuanya bisa diwujudkan secara simbolik saja. Orang bisa mengundang wartawan untuk seremoni ikrar syahadat. Orang bisa saja tiap hari ke masjid, pamer shalat. Orang bisa juga menyumbang 100 juta sebagai zakat (hasil korupsi,  ehm!). Orang pun bisa pura-pura lapar di bulan Puasa. Hingga pergi ke Makkah demi se-huruf (H) yang bisa dipajang di foto kampanye. Semua rukun Islam memiliki segi simbolik yang bisa dipamerkan.

Nah, jika kita berharap ada sesuatu yang membedakan seorang pemeluk rata-rata dengan pemeluk yang lebih baik, maka yang kita bicarakan adalah iman, kondisi yang sederajat di atas islam.

Berbeda dengan rukun Islam, rukun iman tak bisa dipamerkan. Sifat intrinsiknya lebih kuat daripada sifat simboliknya. Kepercayaan kepada rukun iman ada di dalam hati, tidak sekedar di lisan.

Orang-orang Baduwi, dalam Surat al-Hujurat 14-18, misalnya, menyebut diri mereka beriman. Tetapi Allah segera mengoreksi pernyataan mereka: Kalian baru berislam! Iman belum merasuk di dalam diri kalian.
Jadi, kalau ada aktifis partai Islam berulah, ya wajar saja tampaknya. Islam itu simbolis, lahiriah. Keberagaman mereka dan partai mereka ya baru sebatas luarnya. Hati mereka belum religius, belum beriman.

Mungkin, akan baru ada bedanya kalau mereka beriman, partai mereka menjadi Partai Iman. Partai Iman itu wujudnya kokoh di dalam hati dan yang tampak keluar adalah cabangnya, kebajikan-kebajikan yang tersebar mulai dari menyingkirkan duri di jalan, menghormati tamu, membantu tetangga, peduli dengan yang papa, dan tidak dalam bentuk Partai Politik yang hanya memburu kekuasaan dan kepentingan pribadi!

Maka apapun namanya, mau partai Islam atau partai Nasionalis, selama iman kokoh di hati dan memancarkan kebaikan-kebaikan dari diri dan partai mereka, maka mereka bisa menjadi "Partai Iman", partai yang tidak berstruktur, tanpa ketua umum, tanpa sekretariat, dan tidak terdaftar di KPU, tetapi bisa memenangkan hati rakyat.

Jika mereka sudah menjadi anggota Partai Iman, mereka akan dicintai rakyatnya dan bagi anggota Partai Iman, kepemimpinan dan politik hanyalah alat, bukan tujuan. 

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama