Ramadan 03: Nasehat


Biasanya, penceramah Ramadan seperti saya diundang untuk memberi nasehat. Untuk apa ceramah kalau tidak punya bobot nasehat? Pekerjaan seperti itu, tentu saja berat. Saya butuh waktu lama sekali untuk memutuskan mau menerima undangan-undangan memberi ceramah di masjid dan langgar sekitar rumah. Saya biasa menceramahi mahasiswa di kampus, tetapi merasa tidak pas untuk menceramahi masyarakat. 

Pepatah Arab mengatakan lisan al-hal ablaghu min lisan al-maqal (pesan lewat teladan lebih mengena daripada pesan lewat lisan). Orang lebih mempercayai dan mengikuti apa yang kita teladankan daripada omongan berbusa-busa lewat mikropon musalla. Saya merasa, saya bukan tipe orang yang bisa memberi teladan.

Tetapi saya marasa beruntung karena masyarakat ternyata tahu persis saya manusia biasa. Saya bukan ustadz, bukan kyai, dan bukan pula malaikat. Karena itu, kadang saya menerima nasehat dari jamaah. Oh, itu menyenangkan sebab: pertama, saya merasa dihargai dengan nasehat yang mereka berikan, karena itu membuktikan bahwa mereka ingin saya menjadi lebih baik. Kedua, nasehat mereka menambah kepercayaan saya bahwa saya tidak harus menjadi manusia sempurna untuk berdiri di depan jamaah untuk menyampaikan ceramah.

Di salah satu masjid, dalam dua tahun terakhir ini, saya mendapatkan dua nasehat. Tahun lalu, salah satu jamaah mendekati saya dan bertanya, "Pak Arif, tadi setelah takbiratul ihram langsung membaca al-Fatihah ya?" Saya jawab, "Ya. Karena membaca doa iftitah itu sunnah. Taraweh rakaatnya sudah banyak, kita ambil yang rukun-rukun saja." Dia bilang, "Saya tahu pak, tetapi apa susahnya mengerjakan yang sunnah? Toh ini bulan Ramadan?" Oh. Ya. Mengapa tidak?

Malam tadi saya mendapat nasehat kedua di masjid itu. Sesaat sebelum salat dimulai, takmir mendekati saya dan berbisik, "Pak, ada request dari jamaah nih." Agak kaget saya, "Request apa? lagu?" Sambil senyum dia bilang, "Bukan pak. Gini, tolong salat tarawehnya nanti jangan cepat-cepat pak. Woles saja..." Hahaha. "Jadi, kecepetan ya? Oke. Siap komandan!" Jawab saya dengan senang hati.

Apakah saya terlalu cepat? Wah, ini sih tergantung selera jamaah sebenarnya. Dua nasehat itu muncul karena saya ini orang NU, mereka Muhamamdiyah. Saya biasanya salat taraweh 20 rakaat dan meringkas salat pada yang pokok saja, tanpa yang sunnah-sunnah. Biar nggak kelasmaan dan capek. Dibandingkan dengan bapak saya, mertua saya, dan orang-orang di tempat asal saya, kecepatan saya nggak seberapa Om! Saya sih paling cuma selevel Hendriansyah pebalap Jogja itu dibanding mereka yang secepat Rossi dan Lorenzo :D

Tetapi sekali lagi, nasehat mereka penting dan saya terima. Seringkali, dengan nasehat itu, kita bisa mengetahui apa yang tidak kita ketahui, memahami apa yang tidak kita pahami. Bahkan kalimat nasehat yang sama, yang kita sudah sering mendengarnya sekalipun, dapat punya makna baru ketika diberikan kepada kita oleh orang yang tepat dan pada saat yang tepat. 

"Kamu yang sabar ya menghadapi masalah itu. Allah mengirimkan masalah itu kepadamu semata-mata agar kamu naik kelas. Sama seperti kamu menguji mahasiswamu." Nyes... plong... saya rasakan pada saat saya curhat ke teman dan memperoleh nasehat yang saya sering mengucapkannya ke orang lain. 

Nasehat itu ternyata memang bukan soal kalimat yang kau ingat tetapi juga makna yang tepat di saat yang tepat.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama