Rumah Tuhan Rumah Difabel

Kata anakku, judulnya bagus kalau "Rumah Tuhan Rumah Difabel". Hehehe. Setujulah aku. Tetapi ini sudah terlanjur naik cetak dan dimuat di Majalah Gatra minggu ini. Monggo dinikmati bagi yang ingin menggali gagasan Masjid ramah Difabel. 


RUMAH TUHAN RAMAH DIFABEL
Kolom Opini Majalah Gatra, Edisi 22 Juni 2016

Bulan Ramadhan dapat disebut sebagai ‘bulan masjid’ karena meningkatnya intensitas kegiatan yang berpusat di masjid. Orang yang semula hanya berkunjung ke masjid seminggu sekali untuk salat Jumat, dapat berkunjung tujuh kali seminggu untuk salat taraweh. Belum lagi bila ia rajin ikut buka bersama, datang di gelap pagi untuk mendengarkan kuliah subuh, atau terlibat kegiatan-kegiatan kerohanian yang lain. Anak-anak dan remaja biasanya juga lebih dekat dengan tempat yang disebut ‘rumah Tuhan’ itu untuk berbagai kegiatan keagamaan selama Ramadan. Tetapi, apakah kemeriahan itu tersedia bagi semua orang? Apakah rumah Tuhan sudah ramah bagi semuah jamaah?

Jika Anda berwisata ke Yogyakarta, sempatkan mampir salat Jumat di Masjid UIN Sunan Kalijaga. Sebagai musafir, Anda mungkin tidak wajib jumatan; tetapi Anda tidak akan rugi karena dapat menyaksikan khutbah Jumat menggunakan bahasa isyarat satu-satunya di Indonesia. Masjid kampus ini memiliki dua mimbar bertingkat. Mimbar utama yang lebih tinggi digunakan untuk khatib membaca khutbah. Sementara mimbar kecil di bawahnya  digunakan oleh seorang juru bahasa isyarat untuk menerjemahkan setiap pesan khatib kepada para jamaah tunarungu. Di televisi, Anda mungkin sudah akrab dengan pemandangan semisal di acara-acara berita TVRI; tetapi pernahkah Anda menemukannya di masjid?

Khutbah bahasa isyarat adalah salah satu ‘fitur keramahan’ masjid UIN Sunan Kalijaga bagi jamaah difabel. Fitur lainnya adalah akses jalan landai (ram) bagi pengguna kursi roda untuk dapat masuk ke ruang salat utama, saf dengan kursi bagi jamaah lansia atau mereka yang tidak mampu salat dengan gerakan normal, dan kamar kecil berpintu lebar yang terakses kursi roda. Meski belum sempurna, Masjid Kampus UIN Sunan Kalijaga dapat menjadi awal dan purwarupa rumah Tuhan ramah difabel di Indonesia.

Masjid yang Abai

Meski sering disebut sebagai “rumah Tuhan”, masjid seringkali tidak mewakili sifat Tuhan yang ramah dan pemurah. Menurut penelitian yang saya lakukan tahun 2012, masjid-masjid dan para takmirnya belum mengenal konsep ‘aksesibilitas ibadah’.  Kebanyakan masjid memiliki arsitektur yang mengabaikan pengguna kursi roda. Dipengaruhi oleh persepsi lingusitik tentang Tuhan sebagai Dzat “yang ada di atas sana”, arsitektur masjid dibuat meninggi dengan gerbang berundak. Secara visual memang indah bak Taj Mahal; tetapi secara akses membuat masjid tidak ramah bagi para pengguna kursi roda.

Di masjid-masjid yang lebih ‘tradisional’ dan dipengaruhi ajaran kesucian (taharah) yang ketat, biasanya terdapat semacam kolam kecil sedalam 5-10 cm yang memisahkan toilet, tempat wudu, dan ruang utama masjid. Tujuannya, agar najis dari toilet tidak terbawa masuk ke masjid, merusak  kesucian, dan akhirnya membatalkan ibadah. Bagi pengguna kursi roda, kamar kecil dan tempat wudu seperti itu jelas tak terjangkau. Bagi pengguna krek dan tunanetra, perjalanan dari  toilet ke masjid dapat terasa menaklukan rintangan di Ninja Warrior.

Dengan situasi seperti itu, kedatangan para difabel di masjid seperti tak diperlukan. Coba saja luangkan waktu sejenak mengamati para jamaah difabel di masjid Anda. Apa yang saya temukan dalam penelitian mungkin juga akan Anda jumpai. Para pengguna kursi roda, salat Jumat di teras atau luar masjid. Mereka yang lansia, harus membawa kursi  sendiri dari rumah untuk mereka pakai di saf-saf paling belakang atau pinggiran agar tidak menggangu jamaah lain. Beberapa jamaah yang pernah pernah haji atau umroh, membawa kursi  khusus salat itu dari tanah suci karena belum tersedia produk semisal di Indonesia. Anda dapat simpulkan apa artinya kalau produknya saja tidak tersedia di sini. Tentu bukan karena jamaah masjid Indonesia sehat-sehat, tetapi karena kita tidak peduli kebutuhan ibadah mereka.

Accessible Congregations

Di Amerika Serikat, gereja-gereja pernah menggalang sebuah kampanye yang disebut Accessible Congregations. Kampanye ini digelar tahun 1998 dan menarget 2000 tempat ibadah. Gereja yang bergabung diminta memberikan komitmen untuk mengidentifikasi dan menghilangkan segala hambatan bagi difabel untuk menjadi jamaah aktif gereja. Kampanye yang awalnya berlangsung dua tahun itu berhasil melampaui target 2000 tempat ibadah.

Sekjen Dewan Gereja Amerika dan salah satu tokoh kampanye Accessible Congregations, menyatakan, “A congregation does not have to be perfect or totally barrier-free to be designated an accessible congregation... However, it does need to commit to identifying and removing barriers of architecture, communications and attitudes and to welcoming children and adults with disabilities to worship, study, service and leadership.”

Membuat “tempat ibadah yang aksesibel” memang tidak mudah, tetapi menurutnya, yang terpenting adalah komitmen untuk menjamin bahwa jamaah dapat datang dan merasa ‘diorangkan’ kalau mereka ke gereja. Dengan komitmen itu, pengurus gereja dapat sedikit demi sedikit mengidentifikasi hambatan dan menyediakan layanan agar jamaah dapat berpatisipasi dengan baik dalam ibadah, kegiatan-kegiatan kerohanian, dan kehidupan sosial di gerejanya.

Masjid-masjid di Amerika juga tidak kalah dengan gereja dalam hal layanan aksesibilitas. Di sejumlah masjid yang saya kunjungi di Los Angeles, atau tempat saya kuliah dulu di Seattle, pemandangan kursi berjajar di saf-saf utama masjid bukan hal langka. Jamaah tidak perlu membawa kursi dari rumah dan tidak perlu sembunyi-sembunyi  karena salat di kursi sudah sama normalnya dengan salat berdiri. Menaati undang-undang di Amerika Serikat (American Disability Act), masjid juga menyediakan akses yang baik bagi pengguna kursi roda, mulai dari slot parkir khusus difabel dengan jalur akses hingga ke ruang utama.

Masjid Ramah Difabel

Sebagai ‘rumah Tuhan’ masjid harus seramah Tuhan.  Kalau Anda jarang menjumpai difabel berkursi roda di masjid, jangan disimpulkan bahwa masjid tidak perlu dibangun aksesibel karena jamaah masjid ‘tidak ada yang berkursi roda’. Sebab, yang terjadi sebaliknya: masjid tidak ramah difabel maka mereka menjauh dari masjid. Ayah saya, seorang imam surau di kampung, tak pernah lagi ke masjid sejak lumpuh akibat serangan stroke beberapa tahun yang lalu. Mobillitasnya bertumpu kepada kursi roda. Masjid yang tidak aksesibel kini tak lagi terjangkau untuk ia kunjungi.
Padahal, masjid yang ramah dapat menjadi obat alternatif atau komplemen bagi mereka yang sakit. Selain tempat yang baik untuk mengeluh kepada Tuhan, masjid juga dapat menawarkan rasa komunal yang dapat menjaga keberfungsian sosial mereka. Kalau masjid tidak ramah, mereka yang sakit semakin sakit karena terputus dari komunitasnya.

Sebelum ide layanan juru bahasa isyarat khutbah di Masjid UIN Sunan Kalijaga diwujudkan, kami kadang mengunakan layar HP untuk berbagi isi pesan khutbah dengan tunarungu di samping kami. Aneh saja rasanya ada jamaah yang bersemangat datang ke masjid, duduk khusyuk tanpa kantuk, tetapi pesan-pesan khatib tak tersampaikan ke hatinya. Masjid harus menyapanya. Masjid perlu membuka diri dan menghormati para tamu difabelnya. Intensitas kegiatan Ramadhan di masjid, jangan menambah intensitas ketidak-ramahan kepada mereka.

Diterbitkan di Gatra,  22 Juni 2016

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama