Soeharto, Desy ratnasari, dan Pembunuhan Imaji

Lagu itu berjudul "Takdir". Ia dilantukan dengan vokal pas-pasan Desy Ratnasari, artis yang sedang populer lewat dunia peran dan setengah memaksakan diri menyanyi.

Liriknya mendayu. Tema yang saat itu, entah kenapa, membuat rejim Soeharto gerah. Beberapa lagu yang digolongkan dalam 'genre' ini diberangus, seperti lagu super hit "Hati Yang Luka" yang dilantukan Betharia Sonata. Salah satu yang masih saya ingat, lagu-lagu itu dilarang karena dianggap sebagai lagu "cengeng", tidak mendidik dan mungkin dianggap sebagai elemen penghambat dalam memajukan bangsa (mungkin sih).

Lagu Desy Ratnasari, di sisi lain, dianggap lebih parah daripada lagu cengeng. Lagu "takdir" mengusik orang-orang di MUI karena lagu itu dianggap menyalahkan Tuhan. Coba perhatikan liriknya, khususnya di bagian refrain:

SEUNTAI HARAPANKU
UNTUK MENCINTAIMU
PUPUS SUDAH KASIH BERLALU
TINGGALKAN KENANGAN KAU DAN AKU
MEMANG KITA BERBEDA
AKU ORANG BIASA
MUNGKIN TAKDIR ENGGAN MENYAPA
AKHIRNYA CINTAKU KANDAS JUGA
REFRAIN :
TAKDIR MEMANG KEJAM
TAK MENGENAL PERASAAN
BERSIMPUHKU GENGGAM
HARAPAN YANG JADI ARANG
OH TAKDIR MEMANG KEJAM
TAK DAPATKAH KAU RASAKAN
GETAR CINTA YANG MENYATUKAN
RINDU DAN ASA OH
SELAMANYA  ... SELAMANYA

Para ulama marah karena kalimat "takdir memang kejam" bermakna "Tuhan memang kejam". Dalam teologi mereka takdir digariskan oleh Tuhan, dan garis ketentuan Tuhan harus diterima, menolaknya sama dengan ingkar kepada Tuhan.

Di sinilah problemnya. Lagu itu adalah karya sastra, bahasanya metafor, bukan bahasa teologis. Lirik yang berbunyi takdir memang kejam adalah semata-mata ungkapan orang -- dalam bahas Orba -- cengeng yang sedang mengeluhkan nsib apesnya. Sama, kira-kira, dengan orang yang baru saja kecopetan dan bilang "apes... apes ...". 

Video berikut adalah versi pertaubatan lagu "Takdir.". Dalam lirik revisi, yang kejam adalah "kasih". Kata 'takdir' jauh bisa membuka pintu berbagai imaji. Takdir tidak hanya tuhan, tetapi bisa juga kelas ekonomi (aku orang biasa... kata Desy dalam lirik itu). Sementara kata 'kasih', hanya bermakna terbatas, kalau pun bukan malah bermakna tunggal. Ya, 'tunggal', sebagaimana semua tafsir kebenaran politik yang serba tunggal yang menjadi ideologi Soeharto.


 

Bagi saya kasus itu menjadi pengingat kita agar ruang sastra seharusnya merdeka dari intervensi kuasa, apalagi kuasa yang bersekongkol dengan agama.

Orang seharusnya boleh berkata apa saja dalam tutur sastranya. Teologi tidak boleh bergandengan tangan dengan kekuasaan untuk menghakimi sastra. Jika itu terjadi, imaji tak akan pernah bisa tumbuh karena dihantui oleh vonis-vonis teologis yang agennya adalah ulama yang berbahasa Syariah yang legal, harfiyah, dan monotafsir -- ramuan yang tidak akan pernah bertemu dengan ramuan metafor para sastrawan dan pecinta kebebasan.

#WaspadaOrba

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama